Sebuah buku karangan Hildred Geertz
yang berjudul keluarga jawalah yang saya pilih dalam tugas kali ini. Dalam buku ini menceritakan mengenai segala
sesuatu tentang keluarga jawa, dari mulai ekonomi, sebutan-sebutan dalam
silsilah keluarga, perjodohan, pernikahan, kelahiran, bahkan tata cara dalam
mengurus anakpun dibahas dalam buku ini.
Mojokuto, adalah sebuah nama daerah
di Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk 200.000 jiwa. Daerah inilah yang menjadi
tempat penelitian yang dilakukan oleh penulis. Mojokuto adalah daerah yang
mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Sistem perekonomian di
derah ini terbagi dua, yaitu kapitalisasi dan tradisional yang banyak diisi
oleh para petani miskin. Para pedagang Cina yang sebagian besar merajai
perekonomian di daerah ini, mengapa? Karena pedagang Cina banyak berjualan di
toko-toko dan gudang-gudang disepanjang jalan utama di Mojokuto sementara
pedagang lokalnya hanya beredar di dua pasar kota. Perindustriannya pun dirajai
oleh orang Cina, hal ini terbukti dengan adanya pabrik minuman milik orang Cina,
beberapa gedung bioskop milik orang Cina dan gedung pertunjukan sandiwara yang
dipakai rombongan anak-anak wayang Jawa yang lagi-lagi dimiliki oleh orang Cina.
Hanya ada beberapa pabrik yang dimiliki oleh orang jawanya sendiri, sisanya milik
orang Madura. Ada dua macam perdagangan pokok di Mojokuto. Pertama, yang
berkenaan dengan pengiriman barang-barang penting keluar masuk Mojokuto menuju pelabuhan
Surabaya. Kedua, meliputi transaksi-transaksi skala kecil pada taraf lokal.
Masyarakat Mojokuto memiliki 3 kepercayaan yaitu, Islam
(terdiri dari para santri), Hindu-Budha (terdiri dari para priyayi) dan abangan
(kepercayaan lokal yang bersifat animistik). Sekarang saya akan membahas
mengenai terminologi pertalian keluarga. Bentuk dasar sistem terminologi Jawa
adalah bilateral yaitu menarik garis keturunan dari ayah dan ibu. Dalam
keluarga Jawa ada sebuah istilah ‘somah’ yang memiliki arti keluarga inti yang
terdiri dari ayah,ibu dan anak. Somah, merupakan satu-satunya unit pertalian
keluarga yang penting. Somah terjalin dengan rapat dengan somah-somah lainnya.
Somah memiliki peran penting dalam kehidupan di kampong. Setiap kelompok somah
tampil dihadapan anggota kelompok somah lainnya sebagai suatu unit sosial. Somah
beberapa tugas yaitu, melaksanakan tugas ritual, melaksanakan tugas ekonomi,
sosialisasi pada anak, dan mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat
mengurus dirinya sendiri. Menurut orang jawa, setiap anggota keluarga merupakan
suatu pribadi yang tunggal. Orang tua, anak, suami dan istri merupakan
orang-orang terpenting didunia karena mereka dapat memberikan kesejahteraan
emosional, memberikan titik keseimbangan dalam orientasi sosial dan dapat
member bimbingan moral. Ada beberapa panggilan dalam keluarga Jawa seperti
kakek/nenek biasa disebut mbah, anak laki-laki sebelum ayah/ibu ego disebut pak
de, jika anak perempuan sebelum ayah/ibu ego disebut bu de, jika anak laki-laki
adik dari ayah/ibu ego disebut pak lik, dan jika anak perempuan adik dari
ayah/ibu ego disebut buk lik. Sedangkan sebutan untuk kakak laki-laki ego
adalah mas, dan sebutan untuk kakak perempuan adalah mbakyu. Terdapat empat
macam asas untuk membedakan dan mempersamakan berbagai pertalian keluarga yaitu
dengan bilateralitas, generasi, senioritas, dan seks. Istilah-istilah keluarga
dan bukan keluarga biasanya digunakan untuk menegur keluarga atau bukan
keluarga, karena jika tidak pakai istilah maka akan dianggap tidak sopan.
Dalam keluarga Jawa juga terdapat istilah keluarga sedarah
atau saudara dekat. Biasanya yang disebut keluarga sedarah itu adalah paman,
bibi, kakek-nenek (keluarga langsung ayah/ibu kandung) anak-anak, cucu,
cicit-cicit dan nenek moyang mereka. Adapun hak dan kewajiban keluarga
sesaudara yaitu memberikan bantuan dalam perhelatan misalnya dalam pernikahan,
khitanan dan kelahiran, sumbangan dalam bentuk bahan makanan, uang dan tenaga.
Sedangkan kewajibannya yaitu memperhatikan setiap anggota keluarga dekat yang
miskin. Dalam buku ini, penulis juga membahas mengenai perkawinan. Dalam hal
mencari jodoh biasanya dilakukan oleh kedua belah pihak orang tualah atau
dengan kata lain perkawinan dengan system perjodohan. Orang tua pun yang
memiliki hak penuh untuk menentukan hari perkawinan. Untuk anak perempuan,
perkawinan pertama segera dipersiapkan setelah haidnya yang pertama, karena hal
itu menandakan seorang anak telah siap untuk menikah dan kebanyakan orang tua
menikahkan anak perempuannya sesegera mungkin setelah haid pertama dikarenakan
rasa khawatir bila sang anak akan di cap cabul. Berbeda dengan anak laki-laki,
orang tua akan memberikan kebebasan kapan dan dengan siapa dia akan menikah.
Ada beberapa aturan dalam pemilihan jodoh yaitu saudara-saudara sepupu dari
garis ayah, pantang untuk menikah karena suatu saat bisa menjadi wali nikah.
Aturan yang kedua, adik tidak boleh mendahului kakaknya untuk menikah dan
aturan ketiga, herus mencocokan hari lahir terlebih dahulu karena orang percaya
kecocokan hari lahir mereka berdua yang merupakan petunjuk tentang watak
masing-masing.
Setelah menikah,
setiap pasangan pasti ingin memiliki keturunan. Pasangan suami istri yang tidak
subur akan menemui dukun untuk meminta petuah tentang hadirnya seorang anak. Pengguguran
dan pencegahan kehamilan dapat dilakukan oleh dukun dengan cara obat-obatan,
jampi-jampi dan urut. Bila seorang wanita tidak menginginkan janin yang
dikandungnya, biasanya alternatif selain pengguguran yaitu dengan memberikan
anaknya kepada saudaranya. Selain itu,
banyak sekali pantangan yang diberlakukan selama kehamilan yaitu, pantang untuk
bersetubuh selama kehamilan, tidak boleh makan tebu, kepel, dan belut, dilarang
duduk di depan pintu terbuka, suami dilarang untuk membunuh binatang selama
istrinya sedang mengandung, dan istri dilarang untuk keluar rumah, menutup
semua pintu dan jendela saat matahari tenggelam karena saat itu arwah sedang
berkeliaran. Ada dua bahaya besar bila pantangan-pantangan tersebut
dilanggar,yaitu kemungkinan bayi susah lahir atau bayi akan lahir sebagai
raksasa. Ketika bayi akan lahir, paraji (dukun beranak) anak segera dipanggil.
Melahirkan pun tidak bisa sembarangan, ada beberapa tata cara yang harus
diikuti. Paraji akan menggelar tiker lalu menempatkan sang ibu berbaring
diatasnya. Suami pun tidak hanya diam, suami duduk dibelakang pundak istri
untuk menopang badannya. Lalu paraji mulai membacakan jampi-jampi untuk
melindungi ibu hamil dan bayinya. Lalu suami diberikan ramuan untuk dikunyah
hingga halus lalu disemburkan ke ubun-ubun istri. Jika persalinannya sulit atau
terdapat kendala, sang ibu akan disuruh untuk mengunyah sedikit daun pisang
muda dan garam sampai lembut lalu dioleskan ke bagian belahan buah dada sampai
vagina. Setelah itu istri akan diminta untuk meminta maaf kepada suami dan
sanak saudara lainnya. Setelah bayi berhasil dilahirkan, suami wajib untuk
membawa tiker bekas istri melahirkan kesebuah kali lalu diebrsihkan
darahnya kemudian bakar kemenyan dan
beberapa ikat merang, bersesaji bunga dan wangi-wangian dikali tersebut dan
tidak lupa untuk membacakan pula mantra untuk roh penjaga kali.
Tidak hanya sampai pada kelahiran selama anak tersebut hidup,
banyak sekali aturan-aturan yang wajib dijalankan oleh keluarga Jawa. Dari
mulai mengasuh dan melatih bayi, hubungan sosial pada masa kanak-kanak , masa
remaja hingga masa dewasa. Semua ini bertujuan untuk menciptakan keluarga yang
harmonis dan tentram dan mewujudkan dua kaidah yang sangat dijunjung tinggi
oleh orang Jawa, yaitu bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap
baik sehingga tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia
dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang,
sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Metode orang Jawa dalam menangani atas harta kekayaan yang
berbenturan pada saat terjadinya perceraian atau kematian didasarkan pada
pertimbangan langsung atas jasa dan kekuatan khusus pada masing-masing
tuntutan, tujuannya bukanlah untuk mencapai suatu keadilan abstrak yang
diperlukan melainkan mencari pemecahan yang disepakati oleh semua pihak yang
bersangkutan. Lebih diutamakan kebulatan pendapat ketimbang jawaban yang
“benar”. Pada saat terjadi perceraian, harta pribadi (barang bektan) suami atau
istri tetap menjadi milik masing-masing, sedangkan harta bersama (gono-gini)
yang diperoleh pada saat masih ada ikatan perkawinan dibagi dalam perbandingan
dua bahagian untuk suami dan satu bahagian untuk istri. Harta warisan karena kematian,
diterima oleh anak jika si mati mempunyai anak dan jika tanpa anak maka harta
si mati kembali kepada orang tua dan saudara dekatnya dan harta bersama dibagi
menurut perbandingan 2 : 1. Seorang janda tidak berhak atas harta kekayaan
pribadi suaminya. Itulah beberapa aturan yang berlaku dalam masyarakat Jawa
yang secara tidak langsung telah membentuk masyarakatnya sehingga berbeda
dengan masyarakat di suku lain.
oh tidak!
BalasHapuskeduluan ngepost ama Dinda TwT...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus