Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. - Seno Gumira Ajidarma-

Minggu, 03 Juni 2012

Keluarga Jawa



Sebuah buku karangan Hildred Geertz yang berjudul keluarga jawalah yang saya pilih dalam tugas kali ini.  Dalam buku ini menceritakan mengenai segala sesuatu tentang keluarga jawa, dari mulai ekonomi, sebutan-sebutan dalam silsilah keluarga, perjodohan, pernikahan, kelahiran, bahkan tata cara dalam mengurus anakpun dibahas dalam buku ini.
Mojokuto, adalah sebuah nama daerah di Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk 200.000 jiwa. Daerah inilah yang menjadi tempat penelitian yang dilakukan oleh penulis. Mojokuto adalah daerah yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Sistem perekonomian di derah ini terbagi dua, yaitu kapitalisasi dan tradisional yang banyak diisi oleh para petani miskin. Para pedagang Cina yang sebagian besar merajai perekonomian di daerah ini, mengapa? Karena pedagang Cina banyak berjualan di toko-toko dan gudang-gudang disepanjang jalan utama di Mojokuto sementara pedagang lokalnya hanya beredar di dua pasar kota. Perindustriannya pun dirajai oleh orang Cina, hal ini terbukti dengan adanya pabrik minuman milik orang Cina, beberapa gedung bioskop milik orang Cina dan gedung pertunjukan sandiwara yang dipakai rombongan anak-anak wayang Jawa yang lagi-lagi dimiliki oleh orang Cina. Hanya ada beberapa pabrik yang dimiliki oleh orang jawanya sendiri, sisanya milik orang Madura. Ada dua macam perdagangan pokok di Mojokuto. Pertama, yang berkenaan dengan pengiriman barang-barang penting keluar masuk Mojokuto menuju pelabuhan Surabaya. Kedua, meliputi transaksi-transaksi skala kecil pada taraf lokal.
Masyarakat Mojokuto memiliki 3 kepercayaan yaitu, Islam (terdiri dari para santri), Hindu-Budha (terdiri dari para priyayi) dan abangan (kepercayaan lokal yang bersifat animistik). Sekarang saya akan membahas mengenai terminologi pertalian keluarga. Bentuk dasar sistem terminologi Jawa adalah bilateral yaitu menarik garis keturunan dari ayah dan ibu. Dalam keluarga Jawa ada sebuah istilah ‘somah’ yang memiliki arti keluarga inti yang terdiri dari ayah,ibu dan anak. Somah, merupakan satu-satunya unit pertalian keluarga yang penting. Somah terjalin dengan rapat dengan somah-somah lainnya. Somah memiliki peran penting dalam kehidupan di kampong. Setiap kelompok somah tampil dihadapan anggota kelompok somah lainnya sebagai suatu unit sosial. Somah beberapa tugas yaitu, melaksanakan tugas ritual, melaksanakan tugas ekonomi, sosialisasi pada anak, dan mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Menurut orang jawa, setiap anggota keluarga merupakan suatu pribadi yang tunggal. Orang tua, anak, suami dan istri merupakan orang-orang terpenting didunia karena mereka dapat memberikan kesejahteraan emosional, memberikan titik keseimbangan dalam orientasi sosial dan dapat member bimbingan moral. Ada beberapa panggilan dalam keluarga Jawa seperti kakek/nenek biasa disebut mbah, anak laki-laki sebelum ayah/ibu ego disebut pak de, jika anak perempuan sebelum ayah/ibu ego disebut bu de, jika anak laki-laki adik dari ayah/ibu ego disebut pak lik, dan jika anak perempuan adik dari ayah/ibu ego disebut buk lik. Sedangkan sebutan untuk kakak laki-laki ego adalah mas, dan sebutan untuk kakak perempuan adalah mbakyu. Terdapat empat macam asas untuk membedakan dan mempersamakan berbagai pertalian keluarga yaitu dengan bilateralitas, generasi, senioritas, dan seks. Istilah-istilah keluarga dan bukan keluarga biasanya digunakan untuk menegur keluarga atau bukan keluarga, karena jika tidak pakai istilah maka akan dianggap tidak sopan.
Dalam keluarga Jawa juga terdapat istilah keluarga sedarah atau saudara dekat. Biasanya yang disebut keluarga sedarah itu adalah paman, bibi, kakek-nenek (keluarga langsung ayah/ibu kandung) anak-anak, cucu, cicit-cicit dan nenek moyang mereka. Adapun hak dan kewajiban keluarga sesaudara yaitu memberikan bantuan dalam perhelatan misalnya dalam pernikahan, khitanan dan kelahiran, sumbangan dalam bentuk bahan makanan, uang dan tenaga. Sedangkan kewajibannya yaitu memperhatikan setiap anggota keluarga dekat yang miskin. Dalam buku ini, penulis juga membahas mengenai perkawinan. Dalam hal mencari jodoh biasanya dilakukan oleh kedua belah pihak orang tualah atau dengan kata lain perkawinan dengan system perjodohan. Orang tua pun yang memiliki hak penuh untuk menentukan hari perkawinan. Untuk anak perempuan, perkawinan pertama segera dipersiapkan setelah haidnya yang pertama, karena hal itu menandakan seorang anak telah siap untuk menikah dan kebanyakan orang tua menikahkan anak perempuannya sesegera mungkin setelah haid pertama dikarenakan rasa khawatir bila sang anak akan di cap cabul. Berbeda dengan anak laki-laki, orang tua akan memberikan kebebasan kapan dan dengan siapa dia akan menikah. Ada beberapa aturan dalam pemilihan jodoh yaitu saudara-saudara sepupu dari garis ayah, pantang untuk menikah karena suatu saat bisa menjadi wali nikah. Aturan yang kedua, adik tidak boleh mendahului kakaknya untuk menikah dan aturan ketiga, herus mencocokan hari lahir terlebih dahulu karena orang percaya kecocokan hari lahir mereka berdua yang merupakan petunjuk tentang watak masing-masing.
 Setelah menikah, setiap pasangan pasti ingin memiliki keturunan. Pasangan suami istri yang tidak subur akan menemui dukun untuk meminta petuah tentang hadirnya seorang anak. Pengguguran dan pencegahan kehamilan dapat dilakukan oleh dukun dengan cara obat-obatan, jampi-jampi dan urut. Bila seorang wanita tidak menginginkan janin yang dikandungnya, biasanya alternatif selain pengguguran yaitu dengan memberikan anaknya kepada saudaranya.  Selain itu, banyak sekali pantangan yang diberlakukan selama kehamilan yaitu, pantang untuk bersetubuh selama kehamilan, tidak boleh makan tebu, kepel, dan belut, dilarang duduk di depan pintu terbuka, suami dilarang untuk membunuh binatang selama istrinya sedang mengandung, dan istri dilarang untuk keluar rumah, menutup semua pintu dan jendela saat matahari tenggelam karena saat itu arwah sedang berkeliaran. Ada dua bahaya besar bila pantangan-pantangan tersebut dilanggar,yaitu kemungkinan bayi susah lahir atau bayi akan lahir sebagai raksasa. Ketika bayi akan lahir, paraji (dukun beranak) anak segera dipanggil. Melahirkan pun tidak bisa sembarangan, ada beberapa tata cara yang harus diikuti. Paraji akan menggelar tiker lalu menempatkan sang ibu berbaring diatasnya. Suami pun tidak hanya diam, suami duduk dibelakang pundak istri untuk menopang badannya. Lalu paraji mulai membacakan jampi-jampi untuk melindungi ibu hamil dan bayinya. Lalu suami diberikan ramuan untuk dikunyah hingga halus lalu disemburkan ke ubun-ubun istri. Jika persalinannya sulit atau terdapat kendala, sang ibu akan disuruh untuk mengunyah sedikit daun pisang muda dan garam sampai lembut lalu dioleskan ke bagian belahan buah dada sampai vagina. Setelah itu istri akan diminta untuk meminta maaf kepada suami dan sanak saudara lainnya. Setelah bayi berhasil dilahirkan, suami wajib untuk membawa tiker bekas istri melahirkan kesebuah kali lalu diebrsihkan darahnya  kemudian bakar kemenyan dan beberapa ikat merang, bersesaji bunga dan wangi-wangian dikali tersebut dan tidak lupa untuk membacakan pula mantra untuk roh penjaga kali.
Tidak hanya sampai pada kelahiran selama anak tersebut hidup, banyak sekali aturan-aturan yang wajib dijalankan oleh keluarga Jawa. Dari mulai mengasuh dan melatih bayi, hubungan sosial pada masa kanak-kanak , masa remaja hingga masa dewasa. Semua ini bertujuan untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan tentram dan mewujudkan dua kaidah yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Jawa, yaitu bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap baik sehingga tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Metode orang Jawa dalam menangani atas harta kekayaan yang berbenturan pada saat terjadinya perceraian atau kematian didasarkan pada pertimbangan langsung atas jasa dan kekuatan khusus pada masing-masing tuntutan, tujuannya bukanlah untuk mencapai suatu keadilan abstrak yang diperlukan melainkan mencari pemecahan yang disepakati oleh semua pihak yang bersangkutan. Lebih diutamakan kebulatan pendapat ketimbang jawaban yang “benar”. Pada saat terjadi perceraian, harta pribadi (barang bektan) suami atau istri tetap menjadi milik masing-masing, sedangkan harta bersama (gono-gini) yang diperoleh pada saat masih ada ikatan perkawinan dibagi dalam perbandingan dua bahagian untuk suami dan satu bahagian untuk istri. Harta warisan karena kematian, diterima oleh anak jika si mati mempunyai anak dan jika tanpa anak maka harta si mati kembali kepada orang tua dan saudara dekatnya dan harta bersama dibagi menurut perbandingan 2 : 1. Seorang janda tidak berhak atas harta kekayaan pribadi suaminya. Itulah beberapa aturan yang berlaku dalam masyarakat Jawa yang secara tidak langsung telah membentuk masyarakatnya sehingga berbeda dengan masyarakat di suku lain. 

2 komentar: